Jangan Putus Asa Dalam Berdo'a...
“Jangalah membuatmu putus asa dalam mengulang doa-doa,
ketika Allah menunda ijabah doa itu“
Ibnu Athaillah as-Sakandari mengingatkan kepada kita
semua agar kita tidak berputus asa dalam berdoa.Mengapa demikian? Karena nafsu
manusia seringkali muncul ketika Allah menunda ijabah atau pengabulan doa-doa
kita. Dalam kondisi demikian manusia seringkali berputus asa, dan merasa bahwa
doanya tidak dikabulkan. Sikap putus asa itu disebabkan karena manusia merasa
bahwa apa yang dijalankan melalui doanya itu, akan benar-benar memunculkan
pengabulan dan Allah.Tanpa disadari bahwa ijabah itu adalah Hak Allah bukan hak
hamba. Dalam situasi keputusasaan itulah hamba Allah cenderung mengabaikan
munajatnya sehingga ia kehilangan hudlur (hadir) bersama Allah.
Dalam ulasannya terhadap wacana di atas, Syekh Zaruq
menegaskan, bahwa tipikal manusia dalam konteks berdoa ini ada tiga hal:
Pertama, seseorang menuju kepada Tuhannya dengan
kepasrahan total, sehingga ia meraih ridha-Nya. Hamba ini senantiasa bergantung
dengan-Nya, baik doa itu dikabulkan seketika maupun ditunda. la tidak peduli
apakah doa itu akan dikabulkan dalam waktu yang panjang atau lainnya.
Kedua, seseorang tegak di depan pintu-Nya dengan
harapan penuh pada janji-Nya dan memandang aturan-Nya. Hamba ini masih kembali
pada dirinya sendiri dengan pandangan yang teledor dan syarat-syarat yang tidak
terpenuhi, sehingga mengarah pada keputusasaan dalam satu waktu, namun
kadang-kadang penuh harapan optimis. Walaupun hasratnya sangat ringan, toh
syariatnya menjadi besar dalam hatinya.
Ketiga, seseorang yang berdiri tegak di pintu Allah
namun disertai dengan sejumlah cacat jiwa dan kealpaan, dengan hanya
menginginkan keinginannya belaka tanpa mengikuti aturan dan hikmah. Orang ini
sangat dekat dengan keputusasaan, kadang-kadang terjebak dalam keragu-raguan,
kadang-kadang terlempar dijurang kebimbangan. Semoga Allah mengampuninya.
Syekh Abu Muhammad Abdul Aziz al-Mahdawi mengatakan,
“Siapa pun yang tidak menyerahkan pilihannya dengan suka rela kepada Allah
Ta'ala, maka orang tersebut terkena istidraj (sanjungan yang terhinakan). Orang
tersebut termasuk golongan mereka yang disebut oleh Allah: “Penuhilah
kebutuhannya, karena Aku benci mendengarkan keluhannya.” Tetapijika seseorang
memasrahkan pada pilihan Allah, bukan pilihan dirinya, maka otomatis doanya
telah terkabul, walaupun beium terwujud bentuknya. Sebab amal itu sangat
tergantung pada saat akhirnya. “
Wacana di atas dilanjutkan:
“Allahlah yang menjamin ijabah doa itu menurut
pilihan-Nya padamu, bukan menurut pilihan seleramu, kelak pada waktu yang
dikehendaki-Nya, bukan menurut waktu yang engkau kehen-daki.”
Seluruh doa hamba pasti dijamin pengabulannya.
Sebagaimana dalam firman Allah :
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan
bagimu. “
Allah menjamin pengabulan itu melalui janji-Nya. Janji
itu jelas bersifat mutlak. Hanya saja dalam ayat tersebut Allah tidak
menfirmankan dengan kata-kata, “menurut tuntutanmu, atau menurut waktu yang
engkau kehendaki, atau menurut kehendakmu itu sendiri.”
Dalam hadits Rasutullah SAW bersabda: “Tak
seorang pun pendoa, melainkan ia berada di antara salah satu dari tiga kelompok
ini: Kadang ia dipercepat sesuai dengan permintaannya, atau ditunda
(pengka-bulannya) demi pahalanya, atau ia dihindarkan dari keburukan yang
menimpanya.” (HR. Imam Ahmad dan AI-Hakim).
Dalam hadits lain disebutkan, “Doa di
antara kalian bakal di ijabahi, sepanjang kalian tidak tergesa-gesa, (sampai
akhirnya) seseorang mengatakan, “Aku telah berdoa, tapi tidak diijabahi
untukku. “ (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam menafsiri suatu ayat “Telah benar-benar doa kalan
berdua di ijabahi” maksudnva baru 40 tahun diijabahi doanya. Menurut Syekh Abul
Hasan asy-Syadzili, perihal firman Allah: “Maka hendaknya kalian berdua
istiqamah”, maksudnya adalah “tidak tergesa-gesa”. Sedangkan ayat, “Dan
janganlah kalian mengikuti jalannya orang-orang yang tidak mengetahui”,
maksudnya adalah orang-orang yang menginginkan agar disegerakan ijabah doanya.
Bahwa ijabah doa itu diorientasikan pada pilihan Allah, baik dalam bentuk yang
riil ataupun waktunya, semata karena tiga hal:
Pertama, karena kasih sayang dan pertolongan Allah pada
hamba-Nya. Sebab Allah Maha Murah, Maha Asih dan Maha Mengetahui. Dzat Yang
Maha Murah apabila dimohon oleh orang yang memuliakan-Nya, ia akan diberi
sesuatu yang lebih utama menurut Kemahatahuan-Nya. Sementara seorang hamba itu
pada dasarnya bodoh terhadap mana yang baik dan yang lebih bermashlahat.
Terkadang seorang hamba itu mencintai sesuatu padahal sesuatu itu buruk
baginya, dan terkadang ia membenci sesuatu padahal yang dibenci itu lebih baik
baginya. Inilah yang seharusnya difahami pendoa.
Kedua, bahwa sikap tergantung pada pilihan Allah itu
merupakan sikap yang bisa mengabadikan hukum-hukum ubudiyah, di samping lebih
mengakolikan wilayah rububiyah. Sebab manakala suatu ijabah doa itu tergantung
pada selera hamba dengan segala jaminannya, niscaya doa itu sendiri lebih
mengatur Allah. Dan hal demikian suatu tindakan yang salah.
Ketiga, doa itu sendiri adalah ubudiyah. Rahasia doa
adalah menunjukkan betapa seorang hamba itu serba kekurangan. Kalau saja ijabah
doa itu menurut keinginan pendoanya secara mutlak, tentu bentuk serba kurang
itu tidak benar. Dengan demikian pula, rahasia taklif (kewajiban ubudiyah)
menjadi keliru, padahal arti dari doa adalah adanya rahasia taklij'itu sendiri.
Oleh sebab itu, lbnu Athaillah as-Sakandari menyatakan pada wacana selanjutnya:
“Janganlah membuat dirimu ragu pada janji Allah atas
tidak terwujudnya sesuatu yang dijanjikan Allah, walaupun waktunya benar-benar
nyata.”
Maksudnya, kita tidak boleh ragu pada janji Allah.
Terkadang Allah memperlihatkan kepada kita akan terjadinya sesuatu yang kita
inginkan dan pada waktu yang ditentukan. Namun tiba-tiba tidak muncul buktinya.
Kenyataan seperti itu jangan sampai membuat kita ragu-ragu kepada janji Allah
itu sendiri. Allah mempunyai maksud tersendiri dibalik semua itu, yaitu
melanggengkan rububiyah atas ubudiyah hamba-Nya. Syarat-syarat ijabah
atasjanji-Nya, terkadang tidak terpenuhi oleh hamba-Nya. Karena itu Allah pun
pernah menjanjikan pertolongan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW dalam perang Uhud
dan Ahzab serta memenangkan kota
Mekkah. Tetapi Allah menutupi syarat-syarat meraih pertolongan itu, yaitu
syarat adanya sikap “merasa hina” di hadapan Allah yang bisa menjadi limpahan
pertolongan itu sendiri. Sebab Allah berfirnian dalam At-Taubah: “Allah
benar-benar menolongmu pada Perang Badar, ketika kamu sekalian merasa hina “.
Kenapa demikian? Sebab sikap meragukan janji Allah itu
bisa mengaburkan pandangan hati kita terhadap karunia Allah sendiri.
As-Sakandari meneruskan:
“Agar sikap demikian tidak mengaburkan mata hatimu dan
meredupkan cahaya rahasia batinmu”.
Bahwa disebut di sana
padanya pengaburan mata hati dan peredupan cahaya rahasia batin, karena sikap
skeptis terhadap Allah itu, akan menghilangkan tujuan utama dan keleluasaan
pandangan pengetahuan dibalik janji Allah itu.
0 comments:
Post a Comment