Bukan Sekedar Memberi
Kita
sesungguhnya patut bersyukur jika di tengah semakin tingginya individualisme
masyarakat, di tengah gencarnya arus hedonisme dunia, ternyata “memberi” masih
berada dalam daftar aktivitas kita sehari-hari. Entah sekedar memberikan salam
atau memberikan sebagian harta benda. Akan tetapi, mungkin kita tak pernah
mengukur bagaimana derajat pemberian kita. Dengan kata lain, mungkin kita
terlupa bahwa ternyata kita seringkali hanya sekedar memberi, memberikan apa
yang sudah tidak lagi kita inginkan, memberikan apa yang sudah tak lagi kita
butuhkan. Sungguh terpaut jauh dengan kualitas pemberian oleh para sahabat
pendahulu Islam.
Dahulu
Fatimah r.a rela memberikan kalung yang dimilikinya kepada seorang fakir yang
datang kepadanya. Kita tentu juga tidak asing lagi bagaimana QS. Al-Hasyr:9
melukiskan kemuliaan kaum Anshar yang dengan senang hati memberikan pertolongan
terbaik kepada kaum muhajirin. Bercermin pada kehidupan para sahabat, betapa
kita melihat untaian kisah indah mereka yang bisa menjadi para pemberi kaliber
dunia, yang bukan saja bisa memberi di saat senggang dan sempit, tetapi juga
bisa memberikan bagian terbaik dari diri mereka.
Sungguh
besar kemuliaan yang terpancar dari pemberian mereka. Memberikan yang terbaik
adalah manifestasi keikhlasan dan pengorbanan. Memberikan yang terbaik berarti
juga wujud keyakinan kita kepada janji Allah dalam QS. Al-Baqarah: 272 bahwa
tak akan pernah dirugikan sedikitpun orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah.
Memberikan yang terbaik pun berarti mensyukuri nikmat Allah SWT serta
mengoptimalkan segala kemampuan dan potensi diri untuk bisa memberikan manfaat
buat orang lain. Dan tentu, memberikan yang terbaik adalah bukti nyata cinta
seorang muslim kepada saudaranya. Lihatlah, betapa semua keutamaan ini
tercermin dalam kualitas pemberian mereka yang begitu tinggi.
Sementara
bagi kita agaknya jerat-jerat kehidupan dunia mungkin masih begitu kuat
membekap sehingga kita lebih sering memberi sekedarnya, memberikan seperlunya.
Sepertinya, logika akhirat para sahabat itu masih di luar rasio kita sehingga
teramat susah bagi kita untuk bisa meniru perilaku generasi terbaik itu. Akan
tetapi, bukanlah hal yang mustahil bagi kita untuk bisa mengambil sedikit dari
keteladanan para sahabat, sehingga kita bisa mempersembahkan setiap hal terbaik
yang ada dalam diri kita.
Bukanlah
mustahil jika suatu saat kita tak lagi sibuk mencari-cari uang recehan tatkala
ada pengemis meminta, sementara berlembar-lembar ribuan masih terselip di
dompet kita. Semoga kita bukanlah orang yang sibuk membongkar pakaian usang di
pojok lemari ketika banjir melanda saudara kita. semoga kita bukanlah orang
yang hanya membagi makanan kepada tetangga saat makanan bersisa. Semoga kita
bukan lagi termasuk orang yang menjawab salam seadanya, bukan lagi termasuk
orang yang berkata seadanya tanpa hendak berpikir mendalam ketika ada seseorang
meminta pendapat kita. Sungguh patut kita renungkan perkataan Fudhail bin Iyadh
yang mengatakan sudah selayaknyalah kita bersyukur ketika masih ada seseorang
yang meminta kepada kita, ketika kita masih bisa memberikan manfaat buat orang
lain. Ataukah memang sesungguhnya kita termasuk orang yang tidak pernah
bersyukur?
0 comments:
Post a Comment